Allah Ta’ala berfirman:
{مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
“Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan
dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka
merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat)” (QS al-A’raaf:178).
Dalam ayat lain, Dia Ta’ala juga berfirman:
{مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا}
“Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan
dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak
akan mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf:17).
Allah Ta’ala
memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu
memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah
yang merupakan surah yang paling agung dalam Al-Qur-an1, karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap
kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada
keselamatan dari siksa (Neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi
di Surga) kecuali dengan hidayah (dari Allah Ta’ala)
ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti dia
termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang
Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nashrani)”2.
Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim
memaparkan hal ini dengan lebih terperinci, beliau berkata: “Seorang
hamba sangat membutuhkan hidayah di setiap waktu dan tarikan nafasnya,
dalam semua (perbuatan)yang dilakukan maupun yang ditinggalkannya.
Karena hamba tersebut berada di dalam beberapa perkara yang dia tidak
bisa lepas darinya:
- Yang pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah Ta’ala) karena kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam perkara-perkara tersebut.
- Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayahsecara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari (kesalahan) tersebut.
- Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya.
- Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan hidayah padanya.
- Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).
- Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah anda pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut (tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya (memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil (persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain. Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya) diapun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju.
- Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia telah mendapatkannya di waktu yang lalu.
- Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya (perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk mengetahui mana yang) benardalam perkara-perkara tersebut.
- Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk meninggalkan keyakinan salah tersebut.
- Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah (kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut (dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar) ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan (yang Allah Y berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis perbuatannya”3.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika
menjawab pertanyaan sehubungan dengan makna ayat di atas: bagaimana
mungkin seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, baik di
dalam shalat maupun di luar shalat, padahal dia telah mendapatkan
hidayah, apakah ini termasuk meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya
atau tidak demikian?
Imam Ibnu Katsir berkata: “Jawabannya:
tidak demikian, kalaulah bukan karena kebutuhan seorang mukmin di siang
dan malam untuk memohon hidayah maka Allah tidak akan memerintahkan hal
itu kepadanya. Karena sesungguhnya seorang hamba di setiap waktu dan
keadaan sangat membutuhkan (pertolongan) Allah Ta’ala
untuk menetapkan dan meneguhkan dirinya di atas hidayah-Nya, juga
membukakan mata hatinya, menambahkan kesempurnaan dan keistiqamahan
dirinya di atas hidayah-Nya.Sungguh seorang hamba tidak memiliki
(kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi dirinya sendiri kecuali
dengan kehendak-Nya, maka Allah Ta’alamembimbingnya
untuk (selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan
kepadanya pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang
yang beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’alauntuk (selalu) memohon kepadanya, karena Allah Ta’ala
telah menjamin pengabulan bagi orang yang berdoa jika dia memohon
kepada-Nya, terutama seorang yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya
(dengan selalu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu
malam dan di tepi-tepi siang”4.
Makna, hakikat dan macam-macam hidayah
Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-dalaalah (dalil/petunjuk)5.
Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala menjadi empat macam:
1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:
{قَال َرَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى}
“Musa berkata: “Rabb kami (Allah Ta’ala) ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).
Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah Ta’ala
berikan kepada semua makhluk dalam hal yang berhubungan dengan
kelangsungan dan kemaslahatan hidup mereka dalam urusan-urusan dunia,
seperti melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang
membinasakan untuk kelangsungan hidup di dunia.
2. Hidayah
(yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan
jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan kebinasaan. Hidayah
ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna, karena ini
hanya merupakan sebab atau syarat, tapi tidak mesti melahirkan (hidayah
Allah Ta’ala yang sempurna). Inilah makna firman Allah:
{وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى}
“Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS Fushshilat: 17).
Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk.
Hidayah inilah yang mampu dilakukan oleh
manusia, yaitu dengan berdakwah dan menyeru manusia ke jalan Allah,
serta menjelaskan kepada mereka jalan yang benar dan memperingatkan
jalan yang salah, akan tetapi hidayah yang sempurna (yaitu taufik) hanya
ada di tangan Allah Ta’ala, meskipun tentu saja hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati manusia agar mau mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dengan taufik-Nya.
Allah Ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
3. Hidayah
taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti jalan yang benar) dan
kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta memilihnya. inilah
hidayah (sempurna) yang mesti menjadikan orang yang meraihnya akan
mengikuti petunjuk Allah Ta’ala. Inilah yang disebutkan dalam firman-Nya:
{فإن الله يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ}
“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8).
Dan firman-Nya:
{إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ}
“Jika engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam)
sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya
Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya dan
mereka tidak mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37).
Juga firman-Nya:
{إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ}
“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam)
tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi
Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia
yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS al-Qashash: 56).
Maka dalam ayat ini Allah menafikan hidayah ini (taufik) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan menetapkan bagi beliau Shallallahu’alaihi Wasallam hidayah dakwah (bimbingan/ajakan kepada kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika penghuninya digiring kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan penghuni Surga:
{وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ
لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ}
“Segala puji bagi Allah yang telah
memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat
hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43).
Adapun tentang penghuni Neraka, Allah Ta’ala berfirman:
{احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ. مِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ}
“Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim
beserta teman-teman yang bersama mereka dan apa yang dahulu mereka
sembah selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka” (QS ash-Shaaffaat: 22-23)”6.
Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:
- Hidayah yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada agama Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap muslim.
- Hidayah yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui perincian cabang-cabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin di siang dan malam”7.