وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat” (Hadits Riwayat Imam at-Tirmidzi).
Kita
hidup di dunia ini terkadang merasa lebih mulia daripada orang lain.
Hanya gara-gara satu kesalahan yang diperbuat orang lain yang tampak di
depan mata kita,
menjadikan kita merasa lebih baik dan lebih mulia
sehingga kita merendahkan orang tersebut.
Tidak cukup dengan
merendahkan, kita pun berbangga ikut menyebarkan keburukan orang itu
kepada orang lain.
Ketahuilah,
mungkin saja ini
adalah ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang
itu sehingga Allah tampakan kesalahan dan aib orang tersebut agar
bisa menjadi ujian juga bagi kita dengan harapan kita dapat mengambil
pelajaran dari apa yang tampak dari aib itu.
Dengan demikian kita
semestinya menutup aib tersebut sehingga Allah akan memberi jaminan
bahwa aib kita akan ditutup pula baik di dunia maupun di akhirat.
Seandainya dosa itu dapat mengeluarkan
bau busuk dan kita dapat mencium bau busuk tersebut,
mungkin saja kita
ini lebih busuk baunya dibandingkan orang yang tampak aibnya itu.
Tetapi
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup aib kita, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menutup aib umat Nabi Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, maka apa yang kita rahasiakan
ditutup oleh Allah Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala masih mengharapkan
taubat kita. Oleh karena itu,
jika kita melihat aib yang ada pada diri
orang lain,
jangan sampai kita merendahkan dan menyebarkan aib itu.
Sebab,
kalau kita melakukannya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
membuka aib kita di dunia dan di akhirat.
Diceritakan dalam sebuah kisah yang
sangat masyhur.
Suatu hari Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam didatangi seorang wanita yang mengaku telah berbuat
zina. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
kemudian berpaling darinya berpura-pura tidak mendengarnya.
Setiap kali
bertatap muka,
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam akan memalingkan wajah darinya.
Ini dilakukan karena Rasulullah
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak ingin mendengar
aib wanita tersebut. Namun wanita ini tetap berdegil dan tetap menemui
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Kali ini
ia datang bersama ayahnya dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam kemudian bertanya, “Kau sudah hamil?”.
Dijawab oleh sang wanita, “Ya, hamil”.
Lalu Nabi berpesan kepada ayahnya, “Bawa anakmu dan berbuat baiklah kepadanya”.
Di sini ada 2 pelajaran berharga yang
dapat kita ambil hikmahnya.
Pertama, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak bertanya dengan siapa dia berzina.
Kita tahu yang namanya perbuatan zina itu sudah pasti dilakukan oleh 2
pelaku.
Tapi Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam tidak menanyakan hal itu.
Ini karena Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam suka menutup aib orang lain.
Yang
kedua, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam takut wanita itu dianiaya oleh ayahnya sehigga beliau Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam berpesan agar berbuat baik
terhadap putrinya.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam khawatir ayahnya akan berbuat aniaya atas nama kehormatan
keluarga.
Inilah bentuk kasih sayang dan simpati Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Setelah melahirkan, wanita
ini datang kembali menghadap Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam.
Maka Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam kemudian menyuruhnya untuk menyusui anaknya.
Anehnya
di sini adalah beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
tidak menahan wanita itu.
Tetapi Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam lebih suka untuk melepaskannya.
Dalam kisah yang lain,
Rasulullah
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menceritakan ada
seorang mukmin kelak pada hari Kiamat yang mempunyai keistimewaan karena
di dunia ia suka menutup aib saudaranya.
Di saat menghadap Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
berbicara di hadapan Allah Ta’ala, ia mendapatkan
perlakuan khusus.
Pada saat itu orang-orang yang menghadap kepada Allah,
berbicara kepada Allah, maka pembicaraan antara dia dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan dipertontonkan di hadapan lautan manusia,
termasuk segala perbuatan maksiat yang pernah ia lakukan selama di dunia
juga akan diperlihatkan di depan manusia. Semua akan ditampakan. Akan
tetapi, khusus bagi mereka yang suka menutup aib saudaranya di dunia
maka akan dibuatkan tirai yang melindungi pembicaran antara orang
tersebut dengan Allah sehingga tidak bisa didengar oleh siapapun.
Yang
bisa tahu dan dengar pembicaran tersebut hanya dirinya dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika itu Allah mengatakan, “Wahai Fulan, bukankah
kamu pada hari sekian, waktu sekian dan dalam keadaan sekian telah
berbuat maksiat ini dan itu?”.
Disebutkan semuanya oleh Allah perbuatan
maksiat atau keburukan yang pernah ia lakukan selama di dunia. Ia pun
mengakuinya. Hanya saja pembicaraan ini ditutup oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan tidak dipertontonkan di hadapan manusia. Meskipun dosanya
tetap dibicarakan oleh Allah tetapi tidak diperlihatkan kepada
orang-orang saat itu. Hanya dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
tahu. Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan kepada orang tersebut, “Dulu
sewaktu hidup di dunia engkau menutup aib saudaramu maka sekarang ini
semua dosamu diganti dengan kebaikan (hasanat)”. Bayangkan kegembiraan
yang bakal ia dapatkan di akhirat kelak. Bukan hanya aibnya yang ditutup
oleh Allah saja bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin akan
mengganti dosa-dosanya dengan kebaikan. Semua ini ia peroleh karena dulu
ia suka menutup aib saudaranya di dunia. Subhanalloh…
Duhai saudara/ saudariku, sayangnya
penyakit kita pada zaman ini adalah suka menceritakan aib dan keburuakan
orang lain. Seolah perbuatan ini menjadi sebuah kelaziman dan kelezatan
bagi kebanyakan orang sekarang ini. Menceritakan aib saudaranya bahkan
menjadi hiburan bagi kita. Jika kita membuka internet, halaman sebuah
website, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya akan banyak bermunculan
cerita-cerita yang membicarakan aib dan keburukan orang lain. Berbagai
media cetak, elektronik, dan televsi pun tersaji program khusus yang
menayangkan aib orang lain. Inilah salah satu kesalahan yang paling
banyak yang menyebabkan seseorang itu akan dilemparkan ke dalam api
neraka jahannam. Ingatlah sabda Rasulullah yang mengatakan ini (sambil
memegang lidah beliau) yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk ke
dalam neraka Allah. Untuk itulah hati-hati dengan lisan dan lidah kita.
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam juga bersabda, “Seluruh umatku akan diampuni
kecuali al-Mujahirun”.
“Siapa itu al-Mujahirun, duhai Rasulullah?”, tanya Sahabat Nabi.
Dijawab oleh Rasulullah, “Dia berbuat
dosa di malam hari dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup aibnya. Tetapi
kemudian pada pagi harinya ia membuka aibnya sendiri”.
Sering kita tidak menyadari kita suka
menceritakan perbuatan maksiat yang pernah kita lakukan kepada teman
atau sahabat. Atau bahkan kita berbangga diri membuka aib itu tanpa
merasa berdosa.
Itulah al-Mujahirun, orang yang suka membuka dan
menceritakan aibnya sendiri. Kalau demikian, bagaimana ia akan
mendapatkan perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, semoga Allah senantiasa menutup aib-aib kita dan anak keturunan
kita dan semoga Allah mengampuni seluruh aib, dosa dan kesalahan kita
dan anak keturunan kita, serta menjadikan kita sebagai orang yang suka
menutup aib orang lain, suka menjaga aib diri kita sendiri, tidak suka
menyebarkan keburukan saudaranya dan aib sendiri. Mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita mampu menjaga lisan dan lidah kita
dari membicarakan hal-hal yang kotor dan tidak baik, menggantikannya
dengan ucapan yang membawa kebaikan dan keridhoan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
(Disarikan dari kajian yang disampaikan
oleh Sayyidil Habib Najmuddin Othman al-Khered, Pengasuh Majelis Ta’lim
Sawa’assabil Malaysia, dan Sayyidil Habib Muhammad bin Abdurrahman
Asseggaf, Pendiri Program Fattabi’ouni dan Pemilik Al Irtsuna Nabawi TV,
Jeddah, Negeri Hijaz)
No comments:
Post a Comment